tokoh muslim |
Ia lahir dari keluarga yang ta'at beragama dan hidup sederhana. Ayahnya seorang pemintal wol di kota Tus. Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar Al-qur'an pada ayahnya sendiri. Sepeninggal ayahnya, ia dan saudaranya dititipkan pada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad ar-Razikani, seorang sufi besar. Padanya Al-Gazali belajar ilmu fiqih, riwayat hidup para wali, dan kehidupan spiritual mereka. selain itu ia juga menghapal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan, Al-quran dan As-sunah
Ia kemudian dimasukan ke sebuah sekolah yang menyediaka biaya hidup kepada para muridnya. Di sini gurunya adalah Yussuf an-Najjs, juga seorang sufi. Setelah tamat, ia melanjutkan perjalannya ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Disini ia mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persia., disamping belajar pengetahuan Agama. Gurunya diantaranya imam Abu Nasr al-Isma'ili. Karena kurang puas ia kembali ke Tus. Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan disana memasuki madrasah Nizamiyah yang dipimpim oleh ulama besar, imam al-Haramainal-Juwaini, salah seorang tokoh aliran Asy'ariah. Melalui al-Juwaini, al-Gazali memperoleh ilmu ushul fiqih, ilmu mantiq, dan ilmu kalam. Karena dinilai berbakat dan berpotensi, ia diangkat menjadi asistenna. Ia kemudian diangkat untuk menggantikan al-Juwaini mengajar setiap kali gurunya berhalangan datang atau dipercaya mewakiliya sebagai pimpinan Nizamiyah. Di Nisabur inilah bakatnya dalam menulis berkembang
Al-Gazali menulis hampir 100 buku. Buku-bukunya itu meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi islam), fiqih (hukum islam), tasauf, filsafat, akhlak dan autobiografi. Karangannya itu di tulis dalam bahasa Arab atau Persia. Diantara kitab-kitabnya yang terkenal adalah Maqasid al-falasifah (Tujuan para Filsuf), dan kitab Tahafut al-Falasifah (Kekacauan para Filsuf), yang keduanya mengenai filsafat. Bukunya dalam bidang keagamaan adalah Ihya Ulum ad-Din (menghidupkan Ilmu-ilmu agama) dan al-Munqiz min ad-Dalal (Penyelamat dari kesesatan). Buku-nuku karangan ini pada umumnya berisi kritik-kritikan dan komentar terhadap pemikiran filsuf terdahulu. Tulisan-tulisan itu diberikan kepada gurunya untuk dibaca dan mendapat tanggapan positif, bahkan pujian, dari gurunya. Bukunya kemudian berhasil menarik perhatian kaum intelektual dan para ulama sezamannya sementara usianya masih relatif muda, yaitu 28 tahun. Bukunya mendapat perhatian orientalis dan diterjemahkan keberbagai bahasa
Setelah al-Juwaini wafat (1085), al-Gazali meninggalkan Nisabur menuju Muaskar untuk memenuhi undangan perdana menteri Nizam al-Mulk, pendiri madrasah Nizamiyah. Muaskar pada waktu itu tempat pemukiman Perdana Menteri, Pembesar-pembesar kerajaan, dan para ulama/intelektual terkemuka. Disini ia menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang rutin diadakan di istana Nizam al-Mulk. Melalui porum inilah kemasyhurannya semakin meluas. Kepandaian al-Gazali menyebabkan perdana menteri Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada madrasah Nizamiyah di Baghdad tahun 1090 M. Ini merupakan kedudukan sangat terhormat dan merupakan prestasi puncak, dan inilah yang menjadikannya semakin populer. Akan tetapi setelah 5 tahun (1090-1095) memnagku jabatan itu ia mengundurkan diri
Ketika itu, kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi dirinya "Apakah jalan yang ditempuh sudah benar atau tidak?" perasaan syak ini muncul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang satu sama lain terdapat kontradiksi. Al-Gazali ragu, mana diantara aliran-aliran itu jang benar-benar betul. Bukunya yang berjudul al-Munziq min ad-Dalal menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam bukunya itu tergambar keinginan untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Al-gazali mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indra sebab panca indra seringkali salah dan berdusta. Ia kemudian meletakan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan. Tasauflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan tasauf melalui qalbu membuat al-Gazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar
Dalam mempelajari filsafat, al-Gazalimenemukan argumen-argumen filosofis yang dipandangnya menyalahi ajaran islam. Karena itu ia menyerang kaum filsuf yang diungkapkannya dalam bukunya Maqasid al-Falasifah. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Dominicus Gundissalimus dengan judul Logica et Philosophia al-Gazelis Arabis (logika menurut filsuf Arab al-Gazali ; 1145 M). Lalu memperjelas kritiknya kepada filsuf itu, ia menulis buku Tahafut al-Falasifah. Dalam buku itu Al-gazali megkritik 10 pendapat filsup yang mengatakan bahwa ;
- Tuhan tidak mempunyai sifat
- Tuhan mempunyai subtansi sederhana (basit) dan tidak mempunyai hakikat (mahiyah)
- Tuhan tidak mengetahui perincian (juz'iyah)
- Tuhan tidak dapat diberi sifat jenis (al-jins/genus) dan al-fasl (spesies)
- Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan
- Jiwa planet mengetahui semua juz'iyah (rincian)
- Hukum alam tidak berubah
- Pembangkitan jasmani tidak ada
- Alam ini tidak bermula
- Alam ini kekal
Bahkan al-Gazali berpendapat 3 dari 10 pendapat filuf , yaitu alam kekal (tidak bernula), tuhan tidak mengetahui rincian-rincian dan pembangkitan jasmani tidak ada, dapat membawa kepada kekufuran
Isi pokok mengenai kecaman al-Gazali terhadap 3 persolan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, tentang kadimnya alam (alam tidak bermula). filsuf berpendapat bahwa alam ini kadim. menurut al-Gazali, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang kadim selain Tuhan atau berarti banyak yang kadimnya alam (alam tidak bermula). Filsuf berpendapat bahwa alam ini qadim. Menurut Al-Ghazali, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Tuhan. Paham bahwa ada yang qadim selain tuhan adalah syirik. Menurutnya, yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari tuhan sebagai pencipta, dan ini sama dengan kufur
Kedua, tentang pendapat bahwa tuhan tidak mengakui perincian yang terjadi di Alam, menurut Al-Ghazali pendapat ini akan menyesatkan umat islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan tuhan.
Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada perinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya, tetapi pembalasan ukhrawi menuntut pembangkitan jasmani. Ayat-ayat Al-Quran banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran bersifat materil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya hal tersebut.
Ketiga pendapat diatas menurut Al-Ghazali menyimpang dari ajaran yang dianut umat islam pada umumnya, dan bertentangan pada dalil-dalil al-quran, dan ia mencap para filsuf itu kafir.
Pendapat dan kritikan Al-Ghazali terhadap tiga persoalan filsafi yang dikemukakan oleh para filsuf diatas dikecam keras dan dikritik lagi oleh IBNU RUSYD dalam bukunya Tahafut at-Tahafut (kekacauan dari kekacauan) buku itu pada intinya berisi pembelaannya terhadap filsafat dan filsuf.
Pada tahun 1095 Al-Ghazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri dalam masjid Damaskus. Disinilah ia menulis kitabnya Ihya Ulum Ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan tasauf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia islam dan masih terasa kuat sampai sekarang.
Pada tahun 1105, Al- Ghazali kembali kepada tugasnya semula, mengajar di madrasah nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr Al-Mulk, putra Nizam Al-Mulk. Akan tetapi, tugas ini tidak lama dijalankanya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya. Disana ia mendirikan Halaqah (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat (1111)
Kehidupan Al-Ghazali pada masa tuanya telah mantap coraknya menjadi seorang sufi. Sebagi sufi ia berkeyakinan bahwa tasauf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai hakiki. Melalui tasauf, seseorang dapat berada dengan tuhan, bahkan dengan qalbunya dapat melihat tuhan. Akan tetapi, jalan untuk menjadi sufi tidaklah mudah, penuh dengan ujian dan godaan. Al-Ghazali sendiri menceritakan pengalamannya, bertahun-tahun ia melatih diri, meninggalkan segala kesenangan jasmani dan semata-mata mengabdi kepada tuhan.
Menurut Al-Ghazali ada beberap jenjang (maqomat) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi, diantaranya :
1. Tobat
Hal ini mencangkup tiga hal : ilmu, sikap dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbutan dosa.
2. Sabar
Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat jahat, jika daya jiwa yang melahirkan dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang dapat dikatagorikan sabar. Untuk mempermudah jalan menuju kesabaran Al-Ghazali memberikan nasihat sebagai berikut :
Kedua, tentang pendapat bahwa tuhan tidak mengakui perincian yang terjadi di Alam, menurut Al-Ghazali pendapat ini akan menyesatkan umat islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan tuhan.
Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada perinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya, tetapi pembalasan ukhrawi menuntut pembangkitan jasmani. Ayat-ayat Al-Quran banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran bersifat materil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya hal tersebut.
Ketiga pendapat diatas menurut Al-Ghazali menyimpang dari ajaran yang dianut umat islam pada umumnya, dan bertentangan pada dalil-dalil al-quran, dan ia mencap para filsuf itu kafir.
Pendapat dan kritikan Al-Ghazali terhadap tiga persoalan filsafi yang dikemukakan oleh para filsuf diatas dikecam keras dan dikritik lagi oleh IBNU RUSYD dalam bukunya Tahafut at-Tahafut (kekacauan dari kekacauan) buku itu pada intinya berisi pembelaannya terhadap filsafat dan filsuf.
Pada tahun 1095 Al-Ghazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri dalam masjid Damaskus. Disinilah ia menulis kitabnya Ihya Ulum Ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan tasauf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia islam dan masih terasa kuat sampai sekarang.
Pada tahun 1105, Al- Ghazali kembali kepada tugasnya semula, mengajar di madrasah nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr Al-Mulk, putra Nizam Al-Mulk. Akan tetapi, tugas ini tidak lama dijalankanya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya. Disana ia mendirikan Halaqah (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat (1111)
Kehidupan Al-Ghazali pada masa tuanya telah mantap coraknya menjadi seorang sufi. Sebagi sufi ia berkeyakinan bahwa tasauf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai hakiki. Melalui tasauf, seseorang dapat berada dengan tuhan, bahkan dengan qalbunya dapat melihat tuhan. Akan tetapi, jalan untuk menjadi sufi tidaklah mudah, penuh dengan ujian dan godaan. Al-Ghazali sendiri menceritakan pengalamannya, bertahun-tahun ia melatih diri, meninggalkan segala kesenangan jasmani dan semata-mata mengabdi kepada tuhan.
Menurut Al-Ghazali ada beberap jenjang (maqomat) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi, diantaranya :
1. Tobat
Hal ini mencangkup tiga hal : ilmu, sikap dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbutan dosa.
2. Sabar
Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat jahat, jika daya jiwa yang melahirkan dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang dapat dikatagorikan sabar. Untuk mempermudah jalan menuju kesabaran Al-Ghazali memberikan nasihat sebagai berikut :
- Seseorang harus membatasi jumlah dan nilai makanan yang dimakannya karena dorongan syahwat timbul dari perut yang kenyang
- Seseorang harus memelihara pandangan matanya dari hal-hal yang mudah merangsang syahwat. Untuk itu seorang calon sufi sebaiknya menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian
- Seseorang harus membiasakan diri melepaskan nafsunya pada jalan yang diridhoi Allah
3. Kefakiran
Yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlakukan. Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan sesuatu, seperti makanan, namun makanan yang diberikan kepadanya harus diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau subhat (diragukan halal haramnya). Jika haram atau subhat, makanan itu harus ditolaknya, kendatipun makan iu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya
4. Zuhud
Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Menurut Al-Ghazali zuhud itu bertingkat-tingkat. Tingkat tertinggi adalah zuhud yang dilakukan semata-mata karena cinta kepada Allah. Untuk sampai ketingkat ini, hati seharusnya hanya diisi dengan mengingat Allah. Ini hanya dapat diperolah dengan meninggalkan semua kesenangan duniawi.
5. Tawakal
Menurut Al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih kepada makhluknya. Karena itu, manusia berserah diri kepada tuhannya dengan sepenuh hati, dalam penyerahan diri kepada Allah SWT seorang sufi merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat
6. Makrifat
Yaitu mengetahu rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturannya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperolah dari makrifat lebih bermutu daripada pengetahuan yang diperolah akal. Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabah (mencintai tuhan). Menurut Al-ghazali, makrifat dan mahabah adalah derajat tertinggi yang dicapai seorang sufi. Mahabah berarti mengkosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi (tuhan). Kadar cinta seorang sufi ditentukan oleh kedalaman makrifat yang dimilikinya. Semakin kuat makrifatnya, semakin kuat mahabahnya. Penjelasan mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui oleh seorang aufi ini terdapat dalam kitab ihya ulum ad-din, terutama pada jilid ketiga dan keempat
Pemikiran lain yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ialah ia membagi manusia itu menjadi dua bagian besar, khawas dan awam. Golongan awam mempunyai cara berfikir yang sederhana. Mereka hanya dapat menangkap hal-hal yang tersurat saja. Golongan khawas dapat berpikir secara mendalam, mengetahui yang tersirat dibalik yang tersurat. Menghadapi golongan yang berbeda ini, diperlukan pendekatan yang berbeda pula. Orang awam didekati dengan cara diberi nasihat dan petunjuk-petunjuk, sedangkan orang khawas didekati dengan cara menjelaskan hikmat-hikmat
Sebelum Al-Ghazali, tasauf belum dapat diterima secara luas di dunia islam, khususnya dikalangan suni karena dianggap ajaran yang menyimpang, seperti ajaran Husain bin Mansur al-Hallaj dan sebagainya. Melalui buku-bukunya yang menjelaskan pengalaman-pengalaman tasauf yang tidak bertentangan dengan akidah, tasauf dapat diterima dan berkembang pesat dilingkungan ahlusunah wal jamaah. Hal ini antara lain ditandai dengan timbulnya banyak aliran tarekat.
0 Response to " Imam Al-Gazali Tokoh dari Umat Islam"
Post a Comment